Sebagai imbalan atas jasa-jasanya, oleh Majapahit, Nilasuwarna diberikan hadiah untuk mengelola hutan selatan, yakni medan perang yang dipergunakannya melawan bala tentara Tartar yang telah berhasil dia taklukkan. Lebih daripada itu, Nilasuwarna kemudian juga dianugerahi gelar Adipati Ariyo Blitar I dengan daerah kekuasaan di hutan selatan. Kawasan hutan selatan inilah yang dalam perjalanannya kemudian dinamakan oleh Adipati Ariyo Blitar I sebagai Balitar (Bali Tartar). Nama tersebut adalah sebagai tanda atau pangenget untuk mengenang keberhasilannya menaklukkan hutan tersebut.
Sejak itu, Adipati Ariyo Blitar I mulai menjalankan kepemimpinan di bawah Kerajaan Majapahit dengan baik. Dia menikah dengan
Gutri
atau Dewi Rayung Wulan, dan dianugerahi anak Djoko Kandung. Namun, di
tengah perjalanan kepemimpinan Ariyo Blitar I, terjadi sebuah
pemberontakan yang dilakukan oleh Ki Sengguruh Kinareja, yang tidak lain
adalah Patih Kadipaten Blitar sendiri. Ki Sengguruh pun berhasil
merebut kekuasaan dari tangan Adipati Ariyo Blitar I, yang dalam
pertempuran dengan Sengguruh dikabarkan tewas. Selanjutnya Sengguruh
memimpin Kadipaten Blitar dengan gelar Adipati Ariyo Blitar II. Selain
itu, dia juga bermaksud menikahi Dewi Rayungwulan. Mengetahui bahwa ayah
kandungnya (Adipati Ariyo Blitar I) dibunuh oleh Sengguruh atau Adipati
Ariyo Blitar II maka Djoko Kandung pun membuat perhitungan. Dia
kemudian melaksanakan pemberontakan atas Ariyo Blitar II, dan berhasil.
Djoko Kandung kemudian dianugerahi gelar Adipati Ariyo Blitar III. Namun
sayangnya dalam sejarah tercatat bahwa Joko Kandung tidak pernah mau
menerima tahta itu, kendati secara de facto dia tetap memimpin warga
Kadipaten Blitar.



0 komentar:
Posting Komentar